"Pengusaha Sukses itu Harus Sabar."

"KALAU mau jadi pengusaha yang sukses itu harus sabar, jalanin aja dulu. Kamu baru seminggu udah mau nyerah, jalanin aja dulu. Paling nggak tiga bulanlah,” ungkap Sahid Ismail mendukung usaha yang dijalankan Syaiful Burhan.
Dok. detik.com
Di balik kesuksesan seorang Syaiful Burhan (21, siswa SMART angkatan kedua) ternyata tak lepas dari seseorang yang mendukungnya, Sahid Ismail. Kakak yang juga lulusan SMART EI angkatan satu ini ternyata menjadi inspirasi menjalankan usaha bagi seorang Syaiful Burhan. Pasalnya, Sahid Ismail telah lebih dulu menjalankan usaha, dan kini bisa dibilang telah berada di puncak karirnya. Burhan, begitu sapaannya, kini tengah menjalankan kuliahnya di USU (Universitas Sumatera Utara). Selain sibuk kuliah, kini ia juga sibuk mengembangkan usahanya dengan nama “Molen Arab”.

Lahir di Pemalang pada 30 Maret 1993 dari seorang penjual es keliling dan guru honorer menjadikan dirinya merasa memiliki tanggungjawab untuk memperbaiki keadaan keluarga, terlebih lagi ia adalah anak tertua dari enam bersaudara. Sehingga ia memikirkan cara agar minimal “Tidak minta dari orang tua,” ungkapnya. Sejak masih duduk di bangku SD ia sering berjualan gorengan untuk membantu orangtuanya dan juga untuk menambah uang sakunya. Bahkan saat ia kelas 5, ia pernah menjadi pemulung barang bekas.

Dok. Molenarab.com
Dari dahulu ia tidak pernah bercita-cita sebagai pengusaha. Cita-citanya sejak kecil ialah menjadi Fisikawan dan manjadi Menristek. Namun, dari dulu ia juga pernah berfikir untuk menjadi pengusaha. Pengalamannya berjualan saat masih SD ternyata juga mendorongnya melakukan usaha. Usaha yang dijalankannya saat ini ternyata lahir dari kata “kepepet” karena saat itu adalah saat tersulit selama ia berkuliah. Kala itu, adiknya harus dioperasi dan orangtuanya harus mengeluarkan banyak uang, dan saat itu pula sebulan lagi ia harus membayar uang sewa tempat tinggalnya sebesar 2 juta. Untuk membayar uang sewa tersebut, ia pun meminta kepada orangtuanya dan orangtuanya memberikan uang sebesar 2,5 juta.

Ia berpikir bahwa uang 500 ribu dari sisa membayar uang sewa tidak akan cukup untuk biaya hidupnya. Sehingga ia memberanikan diri menaruhkan uang 2,5 juta tersebut untuk dijadikan modal menja-lankan usaha. Ia juga memiliki kekhawatiran akan tempat tinggalnya, jika ia tidak bisa menjalankan usahanya dengan baik, maka ia tidak akan punya tempat tinggal.

Awalnya ia bingung ingin usaha apa, yang ia tahu adalah ia hanya ingin usaha makanan karena jika tidak laku masih bisa dimakan olehnya, ia bingung makanan apa yang akan ia jual. Hingga ia teringat bahwa saat masih bersekolah di SMART EI, ia sering makan molen yang ukurannya besar, selain itu ia juga suka sekali dengan molen. Dari situ ia mendapatkan ide untuk berjualan molen yang uku-rannya besar, yang kini ia namai dengan Molen Arab.

Dok. +DUABELASDETIK
Awal menjalankan usaha ia bekerja sendirian, selama seminggu ia memasarkan Molen Arabnya dan tenyata mendapat respon baik dari konsumen. Saat itu ia merasa tidak sanggup bekerja sendirian dan “Udah mau mati,” ungkapnya. Dua bulan pertama ia bekerja begitu keras sendirian hingga ia hampir menyerah, motivasi dari Sahid Ismail-lah yang menjadikannya tetap bertahan. Di dua bulan tersebut, ia hanya bisa tidur tidak lebih dari dua jam. Di sela-sela waktu tidurnya yang pendek tersebut ia selalu menjalankan saran dari ustad Sahid untuk melaksanakan qiyamulail. Merasa tidak sanggup bekerja sendirian, ia mengajak tiga orang temannya yang juga lulusan SMART EI untuk bekerja dengan-nya, dan setiap orang digaji 600 ribu.

Untuk membayar uang sewa tersebut, ia pun meminta kepada orangtuanya dan orangtuanya memberikan uang sebesar 2,5 juta. Ia berfikir bahwa uang 500 ribu dari sisa membayar uang sewa tidak akan cukup untuk biaya hidupnya sehingga ia memberanikan diri menaruhkan uang 2,5 juta tersebut untuk dijadikan modal usahanya.

Ia juga memiliki kekhawatiran akan tempat tinggalnya, jika ia tidak bisa menjalankan usahanya dengan baik, maka ia tidak akan punya tempat tinggal. Awalnya ia bingung ingin usaha apa, yang ia tahu adalah ia hanya ingin usaha makanan karena jika tidak laku masih bisa dimakan olehnya, ia bingung makanan apa yang akan ia jual. Hingga ia teringat bahwa saat masih bersekolah di SMART EI, ia sering makan molen yang ukurannya besar, selain itu ia juga suka sekali dengan molen. Dari situ ia mendapatkan ide untuk berjualan molen yang ukurannya besar, yang kini ia namai dengan Molen Arab.

Dok. Molenarab.com
Awal menjalankan usaha ia bekerja sendirian, selama seminggu ia memasarkan Molen Arabnya dan tenyata mendapat respon baik dari konsumen. Saat itu ia merasa tidak sanggup bekerja sendirian dan “Udah mau mati,” ungkapnya. Dua bulan pertama ia bekerja begitu keras sendirian hingga ia hampir menyerah, motivasi dari Sahid Ismail-lah yang menjadikannya tetap bertahan. Di dua bulan tersebut, ia hanya bisa tidur tidak lebih dari dua jam. Di sela-sela waktu tidurnya yang pendek tersebut ia selalu menjalankan saran dari ustad Sahid untuk melaksanakan qiyamulail.

Merasa tidak sanggup bekerja sendirian, ia mengajak tiga orang temannya yang juga lulusan SMART EI untuk bekerja dengannya, dan setiap orang digaji 600 ribu. Dari usahanya yang baru berjalan tersebut, ia telah bisa membeli motor. Dan semenjak itu usahanya terus berkembang dan ia pun mencari agen untuk menjualkan Molen Arabnya. Hingga kini ia telah memiliki sekitar 50 karyawan yang terdiri dari 11 orang yang bertugas memproduksi Molen dan sisanya bertugas untuk memasarkan molen tersebut. Dan saat ini ia mengandalkan tangan kanannya yang mengatur usahnya tersebut.

Dok. Molenarab.com
Respon yang baik dari masyarakat membuat dirinya ingin mengembangkan usahnya. Rencananya ia akan membuat PT dan ingin membuka kafe.

Kafe yang akan dibukanya rencananya akan dijadikan kafe yang bertema “pisang” jadi seluruh menunya berasal dari pisang, seperti pancake, lassana, ice cream, keripik, peyek, dan yang lainnya yang merupakan olahan pisang.

“InsyaAllah, pada bulan September ini usaha saya akan memperbanyak produksi, dari yang sebelum-nya sebanyak 2000 molen per hari, menjadi 4000 molen per hari. Selain itu saya juga harus menam-bah karyawan, dan sepertinya akan membuat shift agar lebih efektif. Jadi akan dibagi dalam tiga waktu,” ungkap Burhan.

Itu semua ia lakukan karena banyaknya pesanan yang ia terima, bahkan dari pulau Sumatera seperti Jakarta juga memesan. Namun ia belum berani menerima karena sulit mengirim molen tetap bagus kualitasnya hingga ke Jakarta. Untuk hal ini ia akan usahakan pembekuan sehingga molen tetap terjaga kualitasnya. Selain lewat pemesanan, ia juga mema-sarkan molennya di kampus-kampus di Medan. Selain itu, ia juga akan memperluas wilayah pemasarannya menjadi tujuh kampus. Selain lewat kampus, ia juga memiliki outlet berlantai dua, lantai satu dijadikan kantor, sedangkan lantai dua dijadikan sebagai tempat produksi. Di outlet tersebut produksi dilakukan, dan biasanya paling lama jam dua siang, 2000 molen telah habis terjual. Dan dari molen-molen tersebut, dalam sehari ia meraih omset 8 juta, bahkan pernah sampai 16 juta sehari.

Dok. Molenarab.com
Selain itu, ia juga menggunakan dunia maya untuk mempromosikan molennya, khususnya blog dan website. Kemampuan Blogger yang didapatnya sesaat di SMART begitu bermanfaat baginya. Namun, sekarang karena semakin sibuk, ia telah jarang mengurusi blognya (www.buffhans.com). Dan rencananya, ia akan menyewa orang untuk mengurusi website www.molenarab.com miliknya. Website tersebut khusus untuk usaha yang akan memudahkan konsumen untuk memesan molennya. Selain itu, web Molen Arab juga berfungsi sebagai media informasi bagi konsumen mengenai hal terbaru dari usahanya.

Menurut Kak Burhan, posisinya saat ini tak lepas dari dukungan orangtua dan juga bang Sahid Ismail yang telah memberinya banyak motivasi dan menjadi inspirasi baginya. Selain itu, SMART berperan besar baginya terutama dalam hal mental dasar, seperti kemandirian. Dan ia tidak pernah lupa motivasi dari Ustadzah Latifah, “Jadilah ikan besar di kolam yang kecil daripada menjadi ikan kecil di kolam yang besar.”

+ DUABELASDETIK  -  Wawancara RIZKY D. SATRIO -

Comments