Reuni Kecil di Gede-Pangrango

Taman Nasional Gede-Pangrango, seperti namanya, berada di sekitar kawasan Gunung Gede dan Pangrango. Bulan Juli 2014 lalu, saya berkesempatan mengunjungi taman nasional ini lagi untuk melakukan pendakian. Sebelumnya saya pernah mendaki G. Gede bersama teman-teman Gandewa, pecinta alam Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, ke G. Gede dan di lain waktu, ke G. Pangrango. Pendakian kali ini saya lakukan bersama teman-teman saya semasa SMP-SMA di SMART Ekselensia Indonesia, yaitu Ammar, Azmi, Cahya, Idsam dan Ruly.

Perlu waktu tiga jam lebih menunggu di pertigaan Cibodas sampai Ammar akhirnya gabung bersama rombongan kami. Membuat kami terlihat menyedihkan karena harus menunggu di emperan toko yang sudah tutup. Kami semua mengenakan jaket karena tidak tahan dengan dinginnya udara pukul satu pagi. Hanya tas gunung yang berjejer rapih yang bisa menyadarkan orang yang melihat bahwa kami bukan gembel.

Ammar tidak berangkat bersama teman-teman lain dari kampus Universitas Padjadjaran karena harus mengurus sesuatu terlebih dulu. Rupanya ia tersesat. Ternyata ketika kami menanti di pertigaan Cibodas, Ammar belum tiba di sana. Ia malah bilang dia terbawa bus hingga Ciawi. Syukurnya, Ammar bergabung dengan rombongan dengan kondisi sehat walafiat. Ammar yang pendiam sudah sering naik gunung, dia sudah mendaki Gunung Sumbing dan Sindoro di Jawa Tengah. Jadi mental dan fisiknya pasti bagus. Dialah salah satu orang yang mencetuskan usul mengejar pendakian dua puncak sekaligus kali ini. Gileee...

Azmi, baru beli sepatu Eiger dan celana gunung. Mungkin itu yang membuat dia semangat sepanjang perjalanan dan sama sekali tidak terlihat lelah selama pendakian. Azmi aslinya orang Magelang, Cuma karena sudah kelamaan di Bandung, gaya bicaranya sudah terbawa kesunda-sundaan. Jadi seperti mamang-mamang yang bisa kita temui di warung makan sunda.

Cahya, paling bersemangat dengan pendakian kali ini. Dia yang mengoordinasi keberangkatan teman-teman lain dari Bandung, juga narahubung saya ke anggota rombongan lainnya urusan peralatan, logistik dan lain-lain. Cahya sudah pernah naik gunung sebelumnya, terakhir baru saja naik Ciremai via Palutungan. Dia juga atlet silat Perguruan Merpati Putih, jadi kondisi fisiknya sudah teruji. Sejak awal dialah yang ingin menginjakkan kaki di puncak dua gunung dalam pendakian kali ini, dan ternyata benar-benar bisa mepengaruhi anggota rombongan yang lain. Salut.

Idsam. “anak kecil” dalam rombongan, hehe... Sebenarnya kami seumuran, satu angkatan di angkatan empat SMART EI (Sek4wan) tapi badan Idsam memang paling kecil di antara kami. Idsam ini fisiknya emang kecil, tapi semangatnya luar biasa. Jika tidak ada Idsam, mungkin perjalanan kali ini terasa garing, karena tidak ada yang di-bully :p. Saat kami ke puncak Pangrango, di hari pertama pendakian, Idsam tidak ikut dan memilih tidur di dalam tenda.

Ruly, awalnya antara ikut dan tidak ikut karena belum ada peralatan mendaki macam sleeping bag, carrier, dan matras. Karena memang Ruly ingin sekali ikut, akhirnya berangkatlah anak Bogor ini hanya dengan membawa ransel kuliah. Perjanjian sebelum naik sih, Idsam bakal berbagi sleeping bag dengan Ruly, namun nyatanya, yang memakai sleeping bag hanya Idsam. Ruly sering ikut kegiatan kepanitiaan di bidang medis di acara kampusnya, katanya sering latihan fisik. Terbukti ia fit dan sehat selama pendakian, bahkan beberapa kali memimpin jalan.

Santai di lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango (foto: Dok. Iyas Abdurrahman)

Bagi saya, ada yang beda dalam perjalanan kali ini. Pertama, telaga warna kecil yang kadang warnanya biru, kadang juga hijau, di awal trek pendakian TNGP kering. Saya kaget banget, karena biasanya telaga ini lumayan membuat segar mata, sekaligus menyemangati para pendaki di awal jalur pendakian. Tapi saat pendakian ini, telaga warna sama sekali tidak ada airnya. Setelah turun gunung, teman memberitahu, aliran di bawah jembatan Rawa Gayonggong ada yang berubah sehingga tidak ada air yang mengalir ke telaga warna.

Gunung Pangrango (foto: Dok. Iyas Abdurrahman)


Kedua, tidak ada yang membawa headlamp selain saya. Beruntungnya, memang kami tidak ada rencana jalan saat gelap, dan alhamdulillah perjalanan sesuai rencana. Jika sampai kemalaman, nggak tahu deh bagaimana nasib kami. Mungkin terpaksa berjalan berdempet-dempetan dengan satu headlamp sebagi pusat pergerakan.

Ketiga, tidak ada satu pun di antara kami yang ingat membawa sendok. Apa mereka nggak mau makan, ya? :D Alhasil, kami membuat sendok darurat dari botol air kemasan yang digunting menyerupai bentuk sendok, walaupun sendok itu mletat-mletot dan sering meleleh saat terkena nasi atau makanan yang sangat panas.

Berikutnya, tidak ada yang membawa camilan selain dua bungkus keripik pisang manis selama pendakian ini. Eh ada permen karet juga. Selain itu kami hanya membawa makanan pas-pasan. Beras 1.5 liter, telur 6 butir, sarden 2 kaleng, mi instan, dan tempe orek. Beruntung, di pos Kandang Badak diberi hadiah oleh pendaki baik budi, sekantung beras dan banyak mi instan. Plus gula dan teh celup.
Perjalanan ini memang banyak kurangnya, salah satunya persiapan. Banyak peralatan yang tidak dibawa, tapi perjalanan ini seru banget! Menguras fisik, bikin betis kenceng dan tegang, kami berjalan bagai orang baru dikhitan. Membuat keringat mengucur dari badan karena kelelahan.

Di puncak Gunung Gede (foto: Dok. Iyas Abdurrahman)
Terlepas dari hal itu, akhirnya, saya bisa bertemu lagi dengan temen-temen SMA, yang kurang lebih, sudah dua tahun tidak intens komunikasinya. Kami berkuliah di kampus yang letaknya di Depok, dan Jatinangor. Keduanya masih berada di wilayah Jawa Barat. Tapi untuk berkumpul begini, susahnya kebangetan. Ada saja hal yang menghambat kita berkumpul lagi, mulai dari mencocokkan jadwal libur kampus yang berbeda, menentukan lokasi kumpul, hingga harga tiket yang mahal. Makanya saat pendakian ini akhirnya terjadi, saya senang bukan main.

Muncul pikiran di benak saya “Kok teman-teman saya nggak berubah ya?” Setelah dipikir-pikir, mungkin sebenarnya mereka telah berubah sifat, sikap dan perilakunya. Namun jika kembali ke lingkaran lama kami yang sudah lima tahun hidup seatap bersama, yang keluar nampaknya sifat sikap, dan perilaku pada masa itu.

Salam Lestari!


+DUA_BELAS_DETIK  - IYAS ABDURRAHMAN -

Comments